Tuesday, May 20, 2008

Perlunya Sikap Pluralis

Oleh : D. Henry Basuki

Menghadapi kehidupan modern setelah memasuki Era Perdagangan Bebas Asean maupun memasukinya Era Perdagangan Bebas Dunia Tahun 2003 jelas sikap kita sebagai bangsa yang mandiri, punya jatidiri serta berkepribadian “sangat diuji” ketahanannya di tengah percaturan dunia atau menurut istilah yang populer “globalisasi”.
Memasuki globalisasi ini, kita dihadapkan pada persaingan material maupun spiritual, sehingga tidak dapat bertenang-tenang menikmati apa yang secara mantap sudah kita miliki. Tidak mustahil bahwa “hati kita” bisa dibajak oleh pihak lain karena kita tidak hati-hati.
Tidak ada jalan lain, pepatah yang mengatakan “seperti katak dalam tempurung” sangat perlu kita perhatikan. Kita jangan menjadi katak dalam tempurung yang hanya tahu isi tempurung saja, namun kalau jadi katak harus sering melompat-lompat dari satu kolam ke kolam lain, sehingga punya wawasan yang luas.
Wawasan termaksud didapat bila kita sudah membuka diri kita sendiri untuk dapat mengerti dan memahami apa yang ada pada pihak lain. Inilah yang dinamakan pluralisme, atau kemajemukan.
Seorang guru bahasa Indonesia yang pernah mengajar kami di SMP mengatakan, yang namanya bunga majemuk itu satu bunga tetapi punya bagian lebih dari satu, yang dinamakan kalimat majemuk itu satu kalimat, yang mempunyai bagian lebih dari satu. Pada tulisan ini kami tambahkan bahwa kita sebagai bangsa majemuk itu satu bangsa yang mempunyai bagian lebih dari satu. Demikian sederhana.
Pluralisme yang digalakkan masa ini adalah pluralisme lintas umat beragama maupun lintas manusia berbudaya. Inipun ada yang mempertanyakan apakah nantinya kita tidak mengorbankan agama kita sendiri. Kita tentunya dapat memahami bahwa paham agama yang kita anut bukannya mengobarkan fanatisme yang tidak mempedulikan paham pihak lain. Jangankan mencoba mengerti, mendengarkan apa yang dikatakannya saja tidak mau. Keterbatasan demikian akan membahayakan diri kita sendiri, karena walau kita tidak mengerti paham pihak lain, pihak lain itu sudah mengerti paham kita. Dengan demikian pihak sana mempunyai nilai lebih dari kita.
Memang dalam masyarakat pluralis ada kecenderungan bahwa pihak yang kuat ingin menjadi leader, menjadi terkemuka di tengah masyarakat. Ketika suatu komunitas “dekat” dengan penguasa, kemungkinan akan menekan kelompok kecil yang sejenis. Kerukunan intern komunitas sejenis termaksud menjadi semu. Hal ini hendaknya tidak dilakukan mengingat pada waktu perumusan berdirinya negara kita, terlibat juga para pemikir dari golongan minoritet antara lain ethnis Tionghoa hingga terwujudnya NKRI yang kita cintai sekarang ini. Pluralisme mengakui sekecil apapun perbedaan dalam satu komunitas masyarakat, dihargai sama dengan komunitas besar secara ethnis, agama, maupun komunitas lain.
Suatu kebanggaan bagi kita yang berada di “wilayah antara” baik antara dua benua, juga pertemuan fauna, flora maupun ras. Secara horizotal kita berada di tengah planet bumi, karena katulitiswa melintasi negara kita. Ketika bangsa Spanyol dan Portugis menyebarkan agama Nasrani dengan membuat perjanjian yang satu ke Timur dan yang satu ke Barat, bertemu di Nusantara sehingga melahirkan garis Thodestilas. Flora dan Fauna bertemu di Sulawesi sehingga melahirkan jenis binatang anoa dan sebagainya serta Maluku merupakan pertemuan dua ras dari Asia dan Pasifik.
Khasanah demikian ini seyogyanya kita syukuri dengan tulus, sehingga menimbulkan “taman sari” yang demikian indah.
Berbagi pengalaman melalui dialog, baik secara resmi yang digelar oleh lembaga, institusi maupun secara “lepas” di setiap tempat, bila tidak diawali “rasa sombong” bahwa komunitasnya sendiri yang “paling” unggul, pasti akan berjalan mulus.
Kita sebaiknya benar-benar mau membuka hati, mau menerima adanya perbedaan yang melekat pada komunitas lain, baik itu berada sangat dengat di dalam keluarga sendiri, berada di tetangga maupun kelompok apapun. Bila sudah dapat saling mengerti, maka akan terwujud “rasa persaudaraan sejati”.
Persaudaraan ini sebenarnya merupakan warisan luhur yang sudah ada di negeri kita, di setiap ethnis yang ada di Indonesia. Hanya karena keangkuhan sebagian pemimpin sajalah diwujudkan perbedaan agar eksistensi pemimpin sebagai penguasa berjalan cukup lama.
Adapun rasa persaudaraan termaksud dapat terwujud secara mantap bila kita memiliki sifat-sifat sbb:
Kejujuran
Pengendalian diri
Kesabaran dan
Kemurahan hati
Kejujuran merupakan syarat utama untuk mempertahankan kelangsungkan persaudaraan. Bila kejujuran sebagai salahsatu sifat mulia tidak kita miliki, maka akan hilang rasa saling percaya. Hal mana akan memutuskan tali persaudaraan.
Sifat pemarah merupakan salahsatu sifat yang juga dapat memutuskan tali persaudaraan. Seorang pemarah kehilangan pengendalian diri yang jelas tidak menyenangkan pihak lain. Pengendalian diri akan dilaksanakan dengan cara berpikir terlebih dahulu sebelum berkata atau berbuat sesuatu.
Dengan pengendalian diri maka muncullah kesabaran yang menumbuhkan kemurahan hati. Keempat sifat mulia termaksud merupakan 4 metode untuk menjalin persaudaraan antar manusia.
Persaudaraan akan terjalin dalam waktu yang cukup lama karena adanya saling memperhatikan, saling memberi maupun saling menerima. Kejujuran pada saat ini sering rapuh karena keserakahan menguasai diri manusia. Dengan perbuatan curang, jelas tidak menyenangkan pihak lain. Demikian juga hilangnya kontrol batin sehingga tidak tahu diri. Ketidak sabaran akan menimbulkan kegelisahan sementara keengganan untuk memperhatikan pihak lain atau mementingkan diri sendiri jelas memuakkan.
Hendaknya kita dapat membuka hati sehingga tidak berwawasan sempit yang akan menjadikan kita stress karena pihak lain mempunyai pengetahuan serta pengertian yang tidak dapat kita imbangi dalam alam pluralisme ini. (*)

Sunday, May 20, 2007

Tempat Moksa Putri Raja Terakhir Majapahit – Dibentuk Mirip Makam Demi Penyelamatan

Gempuran laskar Kesultanan Demak setelah berhasil menjatuhkan imperium Majapahit di tanah Jawa dilanjutkan dengan langkah penghancuran semua simbol yang berbau Hindu. Demi penyelamatan dari gempuran Kesultanan Demak ini, beberapa simbol atau tempat yang dipergunakan sebagai pemujaan umat Hindu, struktur bangunannya dibuat menyerupai makam. Salah satunya yang kini masih tersisa adalah situs Umbul Kendat yang merupakan tempat pemujaan berupa petilasan yang dibuat menyerupai makam.

Nama Kendat sendiri dalam bahasa Jawa berarti bunuh diri. Ini dikaitkan dengan tekad salah satu putri raja terakhir Majapahit yakni Kerthabumi atau Brawijaya V (1435-1478) dalam mempertahankan keyakinan/ kepercayaan sehubungan dengan telah runtuhnya Kerajaan Majapahit oleh Kerajaan Demak pimpinan Raden Patah yang mewajibkan seluruh lapisan masyarakat mengikuti kepercayaan baru.

Nama putri tersebut adalah Dyah Ayu Retna Kedaton yang merupakan putri ke-42 Kerthabumi. Beliau lari dari Kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto ke Pengging, Boyolali Jawa Tengah dimana kakak iparnya yang menjadi Adipati Pengging untuk meminta perlindungan. Namun setelah tahu kakak iparnya yang bernama Adipati Sri Makurung Prabu Hadiningrat melakukan moksa bersama istri, seorang anak serta seluruh abdi sekaligus keraton/kerajaannya, sang putrinya dengan kesaktiannya melaksanakan hal yang sama. Ketika itu usia sang putri diperkirakan masih remaja yakni berusia sekitar 13-18 tahun.

Tempat moksa sang putri kemudian ditandai oleh para abdi yang mengikutinya dengan sebuah batu hitam. Batu hitam ini kemudian dibuat dalam bentuk menyerupai makam dengan maksud menghindari kemungkinan di rusak oleh laskar Demak yang terus memburu pemeluk Hindu yang menolak beralih kepercayaan serta menghancurkan semua yang berbau Hindu.

Kalau berbentuk makam, penghancuran akan bisa dihindari karena laskar Demak menganggap itu bukanlah hal yang berbau Hindu. Batu hitam yang dibuat seperti makam inilah yang saat ini menjadi petilasan dan dipergunakan tempat melakukan persembahyangan.

Mata Air

Ketika Dyah Ayu Retna Kedaton melakukan moksa, hal ini diikuti dengan kemunculan mata air (umbul) yang oleh masyarakat kemudian dikenal dengan Umbul Kendat. Umbul Kendat terdiri atas dua bagian yaitu Umbul Keroncong karena bunyi airnya bila didengarkan dengan seksama mirip irama keroncong. Bagian lainnya, disebut dengan Umbul Dandang/ Panguripan yang dipercaya berkhasiat membuat panjang umur, awet muda, murah sandang pangan, cepat naik pangkat, menyembuhkan penyakit, membuang kesialan dan lain-lainnya.

Semula umat Hindu tidak ada yang mengetahui keberadaan situs tersebut. Kemudian RMT Andi Mulyono Kusumonegoro yang merupakan wareng (keturunan V) Sultan Pakubuwono IX (Raja Surakarta tahun 1861-1893) memelopori memakai umbul tersebut untuk Yoga Thirta sekaligus melukat agar permohonannya bisa dikabulkan Hyang Widhi.

Sekarang meskipun masih belum banyak umat Hindu yang melaksanakan tritayatra ke Umbul Kendat, tetapi telah cukup sering diadakan upacara Dewa Yadnya. Sedangkan masyarakat setempat melaksanakan pada hari-hari tertentu, biasanya hari Kamis Paing yang sering juga disebut dengan ritual “paing-an”.

Umbul Kendat, Situs Hindu di Boyolali yang Terlupakan

Sejarah menunjukkan bahwa tanah Jawa merupakan pusat perkembangan agama Hindu Nusantara di masa lalu. Kejayaan Imperium Majapahit dan Kerajaan Mataram Hindu Kuno, dipastikan memiliki bentangan wilayah kekuasaan di seluruh tanah Jawa dari ujung Barat sampai Timur. Karena itulah tidak bisa dipungkiri, bahwa sesungguhnya di tanah Jawa terdapat banyak sekali situs milik umat Hindu yang keberadaannya saat ini masih terkubur baik oleh bencana alam atau memang sengaja dihancurkan dan disembunyikan. Salah satunya adalah situs Umbut Kendat yang ada di daerah Pengging, Boyolali, Jawa Tengah.

Umbul Kendat tepatnya terletak di Desa Plumputan Kecamatan Pengging Kabupaten Boyolali dan merupakan petilasan dimana Dyah Ayu Retna Kedaton, salah seorang putri dari Kerthabumi atau Brawijaya V (Raja terakhir Majapahit) melakukan moksa.

Umbul Kendat terdiri atas dua bagian utama. Yang pertama berupa petilasan yang strukturnya berbentuk makam dan satunya lagi berupa pemandian dengan dua sumber mata air.

Menurut RMT Andi Mulyono Kusumonugroho, umat Hindu yang memulai melaksanakan ritual menurut cara Hindu di Umbul Kendat, situs peninggalan Hindu ini belum banyak diketahui masyarakat khususnya umat Hindu. Bahkan sebelum dirinya mulai melakukan ritual Hindu masyarakat setempat yang sebagian besar memeluk Islam menggunakan situs ini untuk melakukan tradisi dengan warna Islami seperti pembacaan ayat-ayat Alquran.

“Dulu sebelum saya memulai menyelenggarakan ritual secara Hindu, masyarakat disini sering melakukan tirakatan atau melek-an,” kata Andi yang merupakan wareng (keturunan V) Sunan Pakubuwono IX (Raja Surakarta tahun 1861-1893). Meski demikian masyarakat setempat sesungguhnya mengetahui bahwa situs tersebut merupakan peninggalan pemeluk Hindu.

Hal ini dilakukan masyarakat setempat karena mereka meyakini bahwa tempat tersebut memiliki aura magis yang sangat tinggi. Di samping untuk memohon penyembuhan dari berbagai penyakit, Umbut Kendat juga sering menjadi tempat memohon berkah dan keselamatan. Hal ini dibuktikan langsung oleh Andi yang sering memberikan pertolongan kepada sesama yang memohon kesembuhan atas penyakit yang dideritanya.

Banyak orang yang sudah berhasil disembuhkan setelah memohon di Umbul Kendat. Demikian juga dengan mereka yang ingin mendapatkan keselamatan banyak yang mengunjungi Umbul Kendat. Andi menceritakan, pernah satu kompi pasukan dari TNI melakukan Yoga Tirtha (berdoa sambil berendam) di Umbul Kendat sebelum mereka ditugaskan ke Aceh.

“Mereka memohon agar diberikan keselamatan waktu dan di saat menjalankan tugas di Aceh,” kata Andi bercerita.

Biasanya mereka yang melakukan persembahyangan di tempat ini terlebih dahulu melakukan pelukatan dengan Yoga Thirta. Dalam proses ini, umat melafalkan gayatri mantram sambil menyampaikan permohonan. Kesejukan air di Umbul Kendat ini akan membuat badan dan pikiran menjadi segar. Setelah melakukan Yoga Thirta, umat mengganti pakaian untuk selanjutnya melakukan persembahyangan di dalam petilasan.

Gigih

Diselenggarakannya ritual menurut Hindu di Umbul Kendat ini, kata Andi, sampai saat ini tidak mengalami kendala dari masyarakat. Secara perlahan masyarakat setempat mulai bisa menerima bahwa yang dipuja di tempat tersebut memang kekuatan dari zaman Hindu. Kedatangan beberapa umat Hindu ke Umbul Kendat ini juga sudah dianggap sebagai hal yang biasa.

Andi yang merupakan pegawai negeri sipil di pemerintah Provinsi Jawa Tengah ini bisa dikatakan cukup gigih untuk terus memperkenalkan keberadaan Umbul Kendat ini. ”Saya sering mengajak umat Hindu baik yang datang dari Bali maupun Jakarta untuk melakukan persembahyangan di Umbul Kendat,” katanya.

Hal ini dilakukannya agar umat Hindu di berbagai daerah mengetahui bahwa Umbul Kendat merupakan salah satu tempat pemujaan milik umat Hindu. Misi ini, menurut Andi, juga tidak lepas dari keinginannya agar umat Hindu tidak kehilangan jejak para leluhurnya di Tanah Jawa.

Disamping itu, misi penyelamatan situs Hindu dari klaim pihak-pihak lain yang memiliki kepentingan merugikan perkembangan Hindu di Jawa. Dengan dikenalnya Umbul Kendat, Andi yang beristrikan gadis dari Gianyar, Bali ini berharap muncul kepedulian untuk menjaga dan melakukan perawatan secara fisik.

Terlebih lagi dalam konteks menjaga kesuciannya. Sebelum dibangun cungkup atau bangunan permanen untuk petilasan seperti yang bisa dilihat saat ini, masyarakat yang mengunjungi Umbul Kendat sering bersikap seenaknya. ”Mereka makan dan minum atau ganti baju basah setelah berendam di dekat petilasan,” kata Andi. Ini jelas membuat kesucian menjadi berkurang.

Selanjutnya, Andi berniat memasukkan nilai-nilai Hindu dalam ritual ”paing-an” yang biasanya digelar setiap Kamis Paing oleh masyarakat setempat.

Misteri Ibu Kota Majapahit Terpecahkan

Perkumpulan Peduli Majapahit berhasil membuat peta ibu kota Kerajaan Majapahit. Ibu Kota terbesar dalam sejarah Nusantara ini berada di Kabupaten Mojokerto dan Jombang Jawa Timur. Dengan keberhasilan menyusun peta Ibu Kota Majapahit ini merupakan kebanggaan tersendiri bagi bangsa Indonesia, khususnya Hindu.

Anam Anis, Ketua Perkumpulan Peduli Majapahit Gotra Wilwatikta, mengatakan keberhasilan menyusun peta Ibu Kota Majapahit ini akan menjawab pertanyaan generasi yang jauh dari Kerajaan Majapahit tentang kepastian lokasinya. ”Selama ini orang hanya mengenal lewat buku sejarah bahwa bekas ibu kota Kerajaan Majapahit berada di Trowulan, itu saja,” katanya belum lama ini.

Berdasarkan peta yang dibuat oleh Perkumpulan Peduli Majapahit, ibu kota Kerajaan Majapahit meliputi Kecamatan Sooko, Trowulan dan Jatirejo di Kabupaten Mojokerto dan Kecamatan Mojoagung serta Sumobito di Kabupaten Jombang.

Kawasan ini berada pada luas 10x10 kilometer persegi. ”Namun ada versi lain yang menyebutkan 9x11 kilometer persegi. Kami akan pastikan soal luas ibu kota ini untuk memudahkan pengembangan,” kata Anam.

Perkumpulan Peduli Majapahit juga berhasil membuat ilustrasi pusat kota ibu kota Majapahit oleh Henry MacLaine Pont (1924), seorang Insinyur Belanda yang sangat berminat pada situs Trowulan dan kemudian mendirikan Musium Purbakala Trowulan. Pembuatan peta ibu kota Kerajaan Majapahit ini juga melibatkan ahli arkeologi dari Balai Arkeologi Yogyakarta Nurhadi Rangkuti. Situs bekas ibu kota Kerajaan Majapahit ini akan dikembangkan menjadi kawasan Cagar Budaya Nasional, Pusat Wisata Budaya, Pusat Studi Sejarah, Kepurbakalaan dan Kebudayaan.

Majapahit adalah kerajaan besar Nusantara yang berdiri pada abad XIII hingga tahun 1328. Majapahit mengalami kejayaan pada masa Raja Hayam Wuruk yang memiliki Perdana Menteri Gajah Mada yang terkenal dengan Sumpah Palapa-nya.